Sunday, August 17, 2008

Rakyat Kabaena Demo di PT Billy Indonesia dan Petani Rumput Laut Rugi, Masyarakat Dihalau dan Digertak



Aktivitas tambang PT. Billy Indonesia di Kabaena kembali dipertanyakan Aliansi Masyarakat Kabaena Bersatu (AMKB). Mereka menilai, aktivitas pertambangan PT. Billy Indonesia ini tidak memberikan dampak posotif bagi warga setempat. Malah hanya menimbulkan keresahan dan konflik panjang di antara sesama warga. Berbagai kekurangan PT Billy Indonesia dibeberkan oleh AMKB saat berdemonstrasi di depan kantor PT. Billy Indonesia, di Desa Tapuhaka, Kecamatan Kabaena Timur, Kamis (24/7) lalu.
Aksi serupa, sebenarnya sudah dilakukan sebelumnya. Namun, hingga aksi yang keempat kalinya, mereka tidak juga mendapat jawaban yang menyenagkan dari pihak PT. Billy. Untuk kelima kalinya, warga kembali berdemonstrasi di perusahaan nikel itu. Maka, pada tanggal 24 Juli lalu, tepatnya pukul 11.00, massa dalam jumlah lebih besar lagi dari aksi-aksi sebelumnya, yang tergabung dari dua kelurahan dan satu desa di Kecamatan Kabaena Timur kembali mendatangi perusahaan itu untuk mempertanyakan hak dan jaminan keselamatan mereka.

Alkautsar, Korlap, menuturkan, PT Billy yang telah mengeruk tanah di bukit Bumbuntuwele sangat merisaukan warga di sekitar Desa Lambale, Dongkala dan Tapuhaka. Menurutnya, aktivitas perusahaan ini membawa kerusakan hutan di bukit itu, yang menimbulkan kelangkaan air minum karena keringnya sumber mata air di bukit tersebut. "Tahun 2007 lalu, warga kekurangan air bersih karena sumber mata air dari Bumbuntuwele mulai dangkal," katanya.

Sejak PT Billy Indonesia membuka bukit Bumbuntuwele untuk lahan pertambangan, masyarakat Kelurahan Lambale, kecamatan Kabaena Timur mulai kekurangan air bersih. Alkautsar, tokoh pemuda di kelurahan itu mengatakan, ekses itu mereka rasakan setelah tiga bulan aktivitas PT Billy. '' Terpaksa kami gali sumur untuk bisa dapat air,” katanya. Sebelumnya, masyarakat di desa ini mengkonsumsi air sungai Lambale yang berasal dari bukit tersebut. Namun sejak adanya pengerukan tanah di bukit itu, suplai air di sungai Lambale nyaris tak dapat di manfaatkan lagi. “airnya sudah berkurang, bahkan kalau hujan, banyak lumpur merah di sungai itu,” kata Amir, petani di kelurahan Lambale.

Pasokan di tempat ini adalah air permukaan, yakni sungai Lambale dan sungai Lakalumpa. Sejak tahun 2003 lalu, 51 persen masyarakat di daerah ini sudah banyak menggunakan leding sebagai sarana air bersih untuk dikonsumsi, 38 persen menggunakan sumur gali, sumur pompa 1 persen, 40 persen dari bak penampung dan 21 persen lainnya masih mengkonsumsi air langsung dari sungai.
Polemik kelangkaan air bersih memang tidak hanya terjadi di desa Lambale. Hampir seluruh daerah Indonesia juga mengalami hal serupa. Namun, kasus yang muncul di desa Lambale saat ini, adalah benar-benar akibat eksploitasi tanah di bukit Bumbuntuwele, yang mana di bukit itu merupakan satu-satunya sumber mata air bagi masyarakat setempat.

Monday, July 21, 2008

Potensi Alam yang Terancam Hilang

Pulau Kabaena, kabupaten Bombana memiliki luas 867,89 km persegi dengan memiliki enam wilayah administrasi kecamatan yaitu Kabaena Timur, Kabaena Barat, Kabaena Tengah, Kabaena Induk dan Kabaena Utara. Wilayah yang merupakan salah satu kepulauan terbesar di Bombana ini terletak di bagian selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara ke Selatan diantara 4,300 – 6,250 lintang Selatan (sepanjang ± 180 Km dan membentang dari Barat Ke Timur diantara 120,820 – 122.200 BT (sepanjang ± 154 Km).
Oleh Rustam


Pulau Kabaena adalah daerah yang cukup subur. Tak heran jika pulau yang dihuni 99 persen suku Morenene, penduduk pribumi, sebagian besar mengantungkan hidupnya sebagai petani, nelayan dan budidaya rumput laut. Pohon aren, jambu mete, kelapa, coklat, cengkeh dan berbagaia jenis tanaman pangan lainnya tumbuh subur di tanah tua ini. Begitu pula di laut memiliki potensi yang cukup besar, seperti perikanan, budidaya rumput laut dan wisata bahari.
Pada umumnya, masyarakat pulau Kabaena memiliki penghidupan yang serba berkecukupan, mayoritas penduduknya mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga keperguruan tinggi dengan hanya mengandalkan lahan pertanian dan hasil tangkapan ikan dan rumput laut.
Majid, Kepala Desa Tangkeno kecamatan Kabaena Induk, mengatakan sejak dulu masyarakat Kabaena mampu hidup dan membangun hanya dari hasil pertanian dan hasil laut. Dia juga menceritakan suasana pulau Kabaena sebelum masuknya perusahaan tambang. Pulau Kabaena yang terkenal sebagai penghasil gula aren Sultra ini, dulunya terdapat suasana yang harmonis dalam tata kehidupan bermasyarakat penduduknya.
Masyarakat Kabaena memiliki budaya yang dijunjung tinggi dan masih melekat dalam prilaku masyarakatnya. Mereka hidup dalam suasana damai dan tentram, hampir tak ada celah untuk konflik horizontal, karena kekuatan hukum adat yang mengendalikan pola bermasyarakat masih dominan.
Masyarakat pulau Kabaena sangat terbuka dan menghargai setiap masyarakat luar yang datang.
Namun apakah suasana ini akan tetap dipertahankan? Dan apakah SDA yang melimpah akan tetap dinikmati generasi berikutnya? Perubahan itu pasti akan terjadi seiring dengan kehadiran perusahaan-perusahaan tambang.
Siti Maimuna, Koordinator JATAM mengemukakan, datangnya modal dan pendatang lewat perusahaan tambang disuatu tempat sama artinya dengan datangnya tata sosial dan budaya baru meliputi gaya hidup dan adat istiadat setempat. Minuman keras dan portitusi adalah hal yang biasa ditemui pada lokasi pertambangan.
Di lain pihak hilangnya lahan pertanian, perkebunan, budidaya dan lahan suci masyarakat seperti makam, tempat keramat yang mengakibatkan masyarakat asli kehilangan identitas budaya. Di Kabaena memiliki banyak situs sejarah dan telah tercatat beberapakali dijadikan tempat penelitian studi bagi para mahasiswa. Salah satunya adalah di desa Tangkeno, terdapat sebuha makam dan benteng tua.
”Dulu sudah pernah ada perusahaan yang masuk melakukan survey, tapi saya katakan tidak perlu kami tahu berapa kandungan nikel, karena ketika kamu tahu pasti akan ditambang,” kata Majid.
Meski terjadi pro kontra kehadiran perusahaan tambang, namun lebih banyak masyarakat yang menolak dengan alasan akan kehilangan mata pencaharian. Salah satunya adalah petani gula aren.
Seindo, salah satu petani gular aren menyatakan penolakannya terhadap kehadiran perusahaan-perusahaan tambang. Ia sadar, kehadiran perusahaan tambang tak akan memberikan penghasilan yang lebih baik dari apa yang dia peroleh dari sadapan air nira. Setiap bulannya Seindo mampu memperoleh Rp.3 sampai Rp.4 juta. Seindo juga menolak tawaran perusahaan tambang, berapa pun harga yang ditawarkan untuk ganti rugi lahan dan pohon aren yang dimilikinya.
“Apa pun alasannya, saya lebih baik mati mempertahankan tanah saya daripada harus menyerahkan ke perusahaan. Saya masih punya anak dan cucu yang membutuhkannya,” kata Seindo.
Pendapatan yang lumayan besar juga diperleh La Baa, salah seorang petani rumput laut di desa Tapuhaka. Dalam satu kali panen dia bisa memperoleh penghasilan Rp.6 juta. Namun belakangan ini produksi rumput lautnya semakin menurun akibat air luat yang mulai kabur.
Syahrul, salah seorang pemuda Kabaena yang konsen dengan lingkungan mengatakan kebijakan bupati Bombana tidak memihak pada kepentingan masyarakat. Terbukti, 19 KP yang saat ini dikeluarkan tak pernah diketahui masyarakat, karena tidak pernah ada pemberitahuan sebelumnya. Dia menilai, pemerintah cenderung mengabaikan azas pembangunan berkelanjutan serta tidak berwawasan lingkungan.
Menurutnya, pulau Kabaena memiliki potensi SDA yang dapat diandalkan dan dikembangkan sebagai kawasan pertanian dan perkebunan. Dia sangat khawatir jika semua perusahaan tambang yang telah mendapatkan izin KP beroperasi.
“Coba lihat, baru satu saja yang beroperasi sudah dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Bagaimana kalau semuanya beroperasi, tentu lebih besar lagi dampaknya,” kata Syahrul.
Dr.Ir.H.La Sara,M,Si, ketua Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Universitas Haluoleo Kendari yang juga dosen perikanan menjelaskan, dampak yang ditimbulkan pertambangan di pulau Kabaena adalah terancamnya kehidupan penduduk disekitar pesisir. Saat ini potensi yang paling berpengaruh secara signifikan adalah menurunnya produksi perikanan.
Pertambangan terbuka yang dilakukan perusahaan akan berpengaruh besar terhadap ekosistem di laut yang akan mempengaruhi organisme-organisme itu sendiri. “Pada saat organisme rusak maka tentu akan mempengaruhi laju pertumbuhan dan mortabilitas serta sumber daya perikanan menurun drastic,” kata La Sara.
Apakah ini juga mengancam pulau Kabaena ke depan? Dalam jangka panjang akan mempengaruhi keberadaan pulau itu sendiri. Secara geografis perubahan pasti terjadi. Bukan cuma pulaunya, tapi apa saja yang ada di situ semuanya akan terancam.
“Bagi saya pemerintah harus berhati-hati mengeluarkan izin pada konsesi suatu kawasan untuk pertambangan. Karena kita tahu banyak perusahaan pertambangan yang sudah melakukan penambangan dibiarkan begitu saja lahannya,” ujarnya.(***)


Pertambangan di Kabaena, Berkah atau Bencana

Pulau Kabaena memiliki struktur tanah berwarna coklat kemerahan. Persis sama dengan struktur tanah di Pomalaa, kabupaten Kolaka yang dikenal sebagai daerah penghasil nikel terbesar di Sultra.

Oleh Rustam

Pulau Kabaena pertama kali diketahui memiliki kandungan nikel sejak dekade 70-an, saat pertama kali PT. Inco, Tbk, salah satu perusahaan nikel terbesar di Indonesia mengutus sejumlah ahli geologinya untuk melakukan survey dan memastikan 80 persen pulau tersebut memiliki kandungan nikel yang cukup besar dan kadar yang lumayan tinggi.

Dari informasi itulah masyarakat baru tahu kalau di daerahnya memiliki kandungan nikel yang bisa diolah. Pemerintah kabupaten Bombana menangkap peluang ini, sekaligus menetapkan pulau Kabaena sebagai kawasan Pertambangan.

Bupati Bombana Atiku Rahman, yang baru saja dilantik 2005 silam, langsung melakukan gebrakan di bidang ekonomi. Bupati langsung mengeluarkan kebijakan berupa izin pertambangan atau lazimnya disebut Kuasa Pertambangan (KP) kepada investor dengan jangka waktu operasi tiga sampai lima tahun. Tercatat, hingga saat ini ada 19 KP yang mendapatkan legitimasi dari bupati Bombana untuk melakukan aktivitas pertambangan.

Sembilanbelas KP masing-masing, PT.Inco,Tbk, PT.Billy Indonesia, PT.Multi Sejahtera, PT.Orextend Indonesia, PT. Lentera Dinamika, PT.Timah, PT.Intan Mining Jaya, PT. Margo Karya Mandiri, PT.Tekonindo, PT.Bahana Multi Energi, CV. Bumi Sejahtera, PT. Gerbang Multi Sejahtera, PT. Dharma Pahala Mulia, PT. Integra Mining Nusantara, PT.Makmur Lestari Primatama, PT.Lumbini Raya, PT.Arga Morini Indah, PT.Bukit Anugrah Abadi dan PT.Konawe Inti Utama.

Dari 19 persusahaan tersebut, satu diantaranya yakni PT.Billy Indonesia telah melakukan eksploitasi dan beberapa diantaranya masih tahap eksplorasi dan penyidikan umum. Setiap perusahaan memiliki izin konsesi ribuan hektare, kecuali PT. Billy yang hanya memiliki luas konsesi 194 hektare.

Sudah cukupkah dengan 19 KP yang ada? Kadis Pertambangan dan Energi Kabupaten Bombana Ir.Kahar menyatakan idealnya 24 perusahaan untuk mengolah nikel yang ada di pulau Kabaena. Dia yakin dengan banyaknya perusahaan yang masuk akan mendapatkan royalty dan sumbangan lainnya yang banyak buat daerah. Walaupun faktanya hingga saat ini belum mendongkar penerimaan PAD dari sector ini.
“Kita sebagai daerah penghasil mendapatkan kecil sekali dari royalty yakni 4 persen. Kami baru mendapatkan bagian dari pusat sekitar Rp.2 miliar,” kata Kahar.

Mengapa perusahaan pertambangan ini dengan mudah mendapatkan izin? Pemda memberikan kemudahan bagi setiap investor untuk melakukan ekspansi. Pemda tak ingin dipusingkan dengan berbagai problem bagaimana mencari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sebanyak-banyaknya. Pertambangan cepat mendatangkan uang yang banyak tanpa harus menunggu waktu lama dan tak perlu melibatkan banyak aparatur Pemda untuk mengawasi dan memikirkannya.

Sayangnya kebijakan bupati ini tidak mendapat simpati dari masyarakat pulau Kabaena yang telah memilihnya sebagai bupati terpilih. 75 persen masyarakat setempat menolak pertambangan dan selebihnya lagi menerima dan masih pikir-pikir. Warga yang menerima pada umunya memiliki lahan dan tanaman yang diming-imingi akan diganti rugi, sedangkan yang menolak adalah mereka yang tidak memiliki lahan tapi ikut merasakan dampak negatifnya. Ganti rugi tanaman yang ditawarkan kepada warga pun cukup murah, antara Rp.100.000 dan Rp.200.000. Tergantung besarnya pohon.

Majid, kepala desa Tangkeno, kecamatan Kabaena induk, yang juga ketua adat Kabaena, mengatakan masyarakat Kabaena sudah berulang kali melakukan aksi demonstrasi menolak masuknya pertambangan, namun tak digubris bupati maupun anggota dewan.

”Rupanya aspirasi itu hanya sampai dimeja kerja DPRD Bombana saja,” kata Majid.
Dia juga sepakat dan mendukung penolakan kehadiran tambang. “Perusahaan-perusahaan itu akan meninggalkan pulau Kabaena dengan lubang-lubang yang menganga, apalagi yang bisa wariskan pada generasi kita,” keluhnya.

Aksi penolakan kerab dilakukan masyarakat bersama mahasiswa dan pencinta lingkungan. Kondisi ini tentu saja membuat sejumlah pemilik KP tidak nyaman. Langkah progresip pun dilakukan perusahaan tambang dengan memanfaatkan petugas keamanan untuk mendiamkan suara lantang masyarakat. Tiga orang masyarakat dan lima dari mahasiswa yang dianggap aktor pergerakan ditahan oleh petugas kepolisian setempat, selama beberapa hari. Mereka dituding melakukan upaya pencurian dan pengerusakan alat-alat berat milik salah satu perusahaan tambang. Aksi ini pun terhenti.

Menurut Majid, penolakan masyarakat ini dipicu oleh sikap para pemilik KP yang masuk tanpa ada sosialisasi sebelumnya, terutama mengenai AMDAL, ganti rugi lahan dan tanaman. Bahkan PT.Tekonindo yang beroperasi di desa Pangkalero, Kabaena Barat dituding telah mencaplok lahan dan tanaman warga tanpa sepengetahuan sipemiliknya.

Kebijakan Pemda yang langsung mengeluarkan izin KP tanpa ada pemberitahuan sebelumnya kepada masyarakat, dinilai sebagai sebuah jebakan untuk memaksa masyarakat menerima tambang.
“Kita sebagai masyarakat tidak bisa menolak karena kewenangan pemerintah mengeluarkan izin, tapi kenyataannya tidak ada sosialisasi, tiba-tiba perusahaan masuk membawah izin KP,” kata Syahrir, warga desa Pangkalero.

Anggota dewan dari Kabaena Amsir dan Ahmad Yani, tak banyak berbuat untuk konstetuennya. Justru kedua anggota dewan ini menyatakan di Kabaena harus tetap ada tambang demi peningkatan perekonomian daerah dan masyarakat.

Meski demikian, kedua anggota dewan ini secara lantang mengatakan bupati telah melecehkan kelembagaan dewan karena mengabaikan rekomendasi penghentian sementara aktivitas pertambangan di pulau Kabaena.

“DPRD tidak pernah tahu soal pertambangan di Kabaena. Kami mendukung sikap penolakan masyarakat, tapi ini sia-sia saja kalau tidak didukung oleh semua elemen, harus ada gerakan yang lebih besar,” kata Amsir.
Benarkah pertambangan membawah berkah bagi masyarakat? Ketika perusahaan tambang beroperasi dalam suatu kawasan, yang pertama kali terjadi adalah perubahan bentang alam yang cukup besar. Gunung-gunung dan perbukitan yang dulunya hijau, berubah drastis secara cepat menjadi gundul dan berwarna kemerahan akibat gusuran buldozer. Tak hanya mengusur pohon kayu tapi juga menggali dalam-dalam tanah yang mengandung nikel (Ore) yang kemudian diangkut dan di kirim ke luar negeri.
Fakta itu terlihat dari kejauhan di perbukitan desa Tapuhaka, Kecamatan Kabaena Timur, tempat beroperasinya PT.Billy.

Sejak beroperasinya perusahaan itu, banyak masyarakat pesisir terutama di kelurahan Lambale dan desa Dongkala, telah kehilangan mata pencarian sebagai petani rumput laut dan nelayan, sebagai akibat pencemaran air yang berasal dari rembesan tanah galian oleh PT.Billy di atas perbukitan yang bermuara ke salah satu sungai yang langsung mengalir ke laut.

“Kalau hujan deras air sungai merah dan air laut juga keruh. Sudah beberapa bulan ini kami tidak bisa lagi membibitkan rumput laut dan tangkapan ikan disini juga berkurang,” keluh La Aso, salah seorang petani rumput laut.

Nasib serupa juga dialami oleh masyarakat desa Pongkalaero, kecamatan Kabaena Induk. Warga desa ini mulai ribut soal aktivitas perusahaan PT.Tekonindo yang mencaplok lahan perkebunan jambu mete milik warga. Pencaplokan lahan itu juga tak didahului dengan sosialisasi dengan masyarakat setempat. Akibatnya, antar masyarakat saling mencurigai. Warga yang pro dengan pihak perusahaan memilih diam saja, karena mereka telah diiming-imingi ganti rugi yang belum jelas nilainya. Mereka yang kontra tentu saja dirugikan. Ada juga yang berpikir kekhawatiran terhadap keberlangsungan lingkungan dan mata pencaharian mereka.
”Kami sangat khawatir terjadi longsor, air berkurang dan biota laut juga rusak, sehingga kami tidak mendapatkan ikan lagi. Lahan kami akan berkurang sementara penduduk terus bertambah,” kata Usman, salah seorang warga setempat.

Managemen PT.Billy tentu saja tidak ingin disebut perusak lingkungan. Mereka menampik jika perusahaannya telah mencemari lingkungan.Tapi mereka juga tak memungkiri jika setiap perusahaan tambang pasti ada dampak yang ditumbulkan.

”Dimanapun tambang sudah begitu memang,” kata Slamet Mujiono, Manager Produksi PT.Billy. Slamet Mujono adalah mantan pensiunan PT.Aneka Tambang Tbk yang bekerja selama 34 tahun dan dikontrak oleh PT.Billy sejak 2007.

Mereka sangat yakin mampu menekan kerukan lingkungan dengan melakukan berbagai cara, antara lain melakukan penghijauan kembali pasca tambang dan pembuatan cekdam untuk mencegah rembesan air gunung. ”Dan kami sudah berhasil mencegah erosi,” kata Budi Widiwan, staf LK3 yang menangani lingkungan.

Bagaimana komitmen perusahaan dengan pemerintah dan masyarakat? PT.Billy yang memulai aktivitasnya dari penyidikan, eksplorasi dan saat ini telah melakukan eksploitasi telah membayarkan kewajibannya berupa royalti kepada pemerintah pusat yang selanjutnya diberikan kepada Pemda Bombana. PT.Billy juga telah mengucurkan dana Community Development (Comdev) sebesar Rp.500 juta yang diserahkan kepada Pemda yang diperuntukkan bagi masyarakat setempat.

Namun dana Comndev ini tak banyak dinikmati masyarakat, apalagi skala kecil. Justru yang lebih banyak menikmati adalah aparat pemerintah sendiri. ”Para kepala desa dan lurah menggunakan dana itu untuk perjalanan dinas,” kata La Aso.

Dana Comdev yang diberikan PT.Billy kepada masyarakat sangat kecil yakni 1.000 per ton ore yang dikapalkan. Nilai dana Comdev ini berbeda jauh yang diberikan PT.Antam yang beroperasi di Pomalaa, Kabupaten Kolaka yakni Rp.18.000 perton nikel.

Belum lagi soal perekrutan tenaga kerja dari masyarakat lokal yang tidak seimbang. Sekitar 82 % masyarakat lokal direkrut sebagai tenaga kontrak. Karena SDM-nya yang tak punya spesifikasi pertambangan, maka kebanyakan mereka ditempatkan sebagai karyawan rendahan dengan masa depan yang belum pasti. Bahkan beberapa diantara mereka yang telah diperkejakan terpaksa dipecat karena tidak mampu bekerja. Faktor inilah yang kemudian membuat warga semakin termarginalkan, setelah lahan mata pencaharian pokok mereka tersingkir karena hadirnya tambang ini.

Dampak lain dari kehadiran pertambangan adalah turunnya nilai gizi dan kesehatan keluarga. Pada umumnya di daerah pertambangan penyakit ISPA yang paling dominan. Di Kabaena Timur, gejala ISPA mulai terlihat.
”Selama beberapa bulan ini, ISPA trend meningkat, flu, iritasi mata batuk-batuk dan penyakit kulit,” kata Al Kasar Mubarak, salah satu petugas kesehatan Puskesmas Kabaena Timur.

Siti Maemunah, koordinator JATAM Indonesia mengatakan biasanya dari awal masuknya saja, perusahaan tambang sudah sering melakukan kesalahan yang disengaja. Misalnya, mereka tak punya itikad baik untuk memberikan informasi yang benar kepada masyarakat mengenai kemungkinan-kemungkinan resiko jangka panjang akibat aktivitas pengoperasian perusahaan tambang. (***)


Pertambangan dan Kesejahteraan Rakyat Kabaena

Luas Pulau Kabaena secara geografis 867,89 KM2 pada Tahun 1985 potensi sumber daya hutan di Pulau kabaena tercatat seluas 95.050 Hektar, sedangkan pada Tahun 1998 luas kawasan hutan hanya tersisa seluas 53.400 Hektar. Dimana kerusakan hutan yang terjadi selama kurun waktu 13 tahun seluas 41.650 Hektar atau 43,82 %. Dampak dari kerusakan hutan tersebut telah terlihat dan dirasakan oleh masyarakat Pulau Kabaena yang justru tidak menikmati hasil hutan yang dieksploitasi, antara lain; (i) berkurangnya debit air disejumlah sungai yang selama ini digunakan oleh masyarakat sebagai sumber mata air untuk dikonsumsi dan digunakan sehari-hari, bahkan beberapa anak sungai mengalami kekeringan pada musim kemarau, (ii) lahan-lahan pertanian mengalami kekeringan bahkan sebagian ditinggalkan oleh petani pemiliknya dan menjadi TKI di Malaysia, (iii) berkurangnya satwa liar yang ada dihutan. Pada sisi yang lain akses masyarakat terhadap hutan dibatasi oleh pemerintah dengan berbagai alasan.

Luas Pulau Kabaena secara geografis 867,89 KM2 pada Tahun 1985 potensi sumber daya hutan di Pulau kabaena tercatat seluas 95.050 Hektar, sedangkan pada Tahun 1998 luas kawasan hutan hanya tersisa seluas 53.400 Hektar. Dimana kerusakan hutan yang terjadi selama kurun waktu 13 tahun seluas 41.650 Hektar atau 43,82 %. Dampak dari kerusakan hutan tersebut telah terlihat dan dirasakan oleh masyarakat Pulau Kabaena yang justru tidak menikmati hasil hutan yang dieksploitasi, antara lain; (i) berkurangnya debit air disejumlah sungai yang selama ini digunakan oleh masyarakat sebagai sumber mata air untuk dikonsumsi dan digunakan sehari-hari, bahkan beberapa anak sungai mengalami kekeringan pada musim kemarau, (ii) lahan-lahan pertanian mengalami kekeringan bahkan sebagian ditinggalkan oleh petani pemiliknya dan menjadi TKI di Malaysia, (iii) berkurangnya satwa liar yang ada dihutan. Pada sisi yang lain akses masyarakat terhadap hutan dibatasi oleh pemerintah dengan berbagai alasan.

Luas Pulau Kabaena secara geografis 867,89 KM2 pada Tahun 1985 potensi sumber daya hutan di Pulau kabaena tercatat seluas 95.050 Hektar, sedangkan pada Tahun 1998 luas kawasan hutan hanya tersisa seluas 53.400 Hektar. Dimana kerusakan hutan yang terjadi selama kurun waktu 13 tahun seluas 41.650 Hektar atau 43,82 %. Dampak dari kerusakan hutan tersebut telah terlihat dan dirasakan oleh masyarakat Pulau Kabaena yang justru tidak menikmati hasil hutan yang dieksploitasi, antara lain; (i) berkurangnya debit air disejumlah sungai yang selama ini digunakan oleh masyarakat sebagai sumber mata air untuk dikonsumsi dan digunakan sehari-hari, bahkan beberapa anak sungai mengalami kekeringan pada musim kemarau, (ii) lahan-lahan pertanian mengalami kekeringan bahkan sebagian ditinggalkan oleh petani pemiliknya dan menjadi TKI di Malaysia, (iii) berkurangnya satwa liar yang ada dihutan. Pada sisi yang lain akses masyarakat terhadap hutan dibatasi oleh pemerintah dengan berbagai alasan. Hal ini menambah keterpurukan masyarakat Pulau Kabaena yang secara turun-temurun menggantungkan hidupnya terhadap hasil hutan.
Belum selesai persoalan hutan, masyarakat pulau Kabaena kembali akan dihadapkan pada persoalan baru yakni soal pertambangan. Pulau Kabaena memiliki potensi pertambangan seluas ± 35.606 hektar untuk nikel dan ± 2400 Ha untuk Batu kromit serta beberapa jenis bahan galian tambang lainnya. Potensi tambang ini mulai diincar oleh 12 perusahaan tambang yang telah mengantongi izin dari pemerintah Kab. Bombana baik izin penyelidikan umum maupun izin eksplorasi maupun eksploitasi.
Kabaena memang memiliki potensi sumber daya alam yang banyak mulai dari bahan tambang dan hasil bumi lainnya. Begitu banyaknya potensi tersebut membuat masyarakat menjadi bingung untuk memulai usaha apa, pada akhirnya pilihan jatuh pada sifat ogah-ogahan pada potensi yang ada. Disamping tidak tahu cara mengelola yang baik, tempat untuk pemasaran juga belum jelas karena sarana transportasi belum mengalami perubahan yang signifikan sejak Negara Indonesia merdeka.
Melihat potensi sumber daya yang banyak itu, pemerintah daerah Bombana mulai dari level paling atas sampai yang paling bawah sibuk mempromosikan potensi Kabaena di berbagai kesempatan kemudian menyambut dan mengantar investor untuk meninjau lokasi sumber daya alam tersebut. Kesempatan bertemu dengan masyarakat digunakan untuk mengkampanyekan manfaat yang akan diperoleh kelak jika investor memulai usahanya di Kabaena khususnya investor tambang. Dan masyarakat mulai diiming-imingi mata pencaharian yang baru dan konon ‘lebih layak’.
Akan tetapi, masyarakatpun mulai resah dengan janji yang belum jelas tentang posisi mereka kelak ketika perusahaan itu mulai beroperasi. Masyarakat yang berpikir praktis tidak kehabisan akal, mereka diam-diam bergegas menuju ke lokasi yang diperkirakan termasuk wilayah tambang dan membuat kebun. Cara ini dilakukan agar nantinya kelak setelah beroperasi dan lokasi kebunnya termasuk dalam areal konsesi tentunya harapan untuk memperoleh ganti rugi tanaman cukup besar di samping itu ada juga tanaman masyarakat yang sudah dikembangbiakkan sejak berpuluh-puluh tahun seperti jambu bete, kelapa dan beberapa tanaman buah laiinya.
Namun kita tidak boleh berpikir sesederhana dan sepraktis itu. Belajar dari berbagai daerah tambang di Indoensia justru masyarakat disekitar tambang harus tersingkir atau menjadi miskin ditengah limpahan hasil tambang. Satu pertanyaan penting yang mesti dipikirkan, dimana kedudukan anak-cucu orang Kabaena terhadap sumber daya alam Kabaena tersebut? Haruskah kemudian warga asli Kabaena mengungsi jauh-jauh dari areal tambang hanya karena lokasi lahan perkebunan mereka telah ’dijual’ kepada investor? Atau mereka harus berjalan berpuluh-puluh kilometer untuk mencari sumber air dan membuka lahan perkebunan? Atau yang paling ekstrim, beberapa tahun lagi kita akan menyaksikan hamparan tanah tandus bekas galian tambang dan juga pemukiman warga terkena banjir karena hutan sudah gundul semua.
Tentu saja jika masalah lingkungan hidup sudah ada pada areal pertambangan, maka investor akan menjawab, “kami sudah bekerja sesuai dengan prosedur dalam melakukan penambangan dan pemerintah sudah menyutujui langkah-langkah itu sebab telah melalui proses AMDAL. Kami tinggal menyetor dana reboisasi kepada pemerintah dan pemerintah akan mengelola bekas lahan tersebut bersama masyarakat”. Dengan menyerahkan segala urusan kepada pemerintah untuk kemudahan, kenyamanan dan cepatnya proses pengeluaran ijin, maka secara langsung telah menyebabkan terjadinya konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah daerah dalam proses penanganan resistensi masyarakat terutama soal status lahan, hak atas tanah dan masalah lingkungan.
Dan pemerintah akan berkilah bahwa kami telah mengingatkan perusahaan, jika tidak mengindahkan aturan yang kami tetapkan maka izin mereka akan kami cabut. Lagipula ada kewajiban yang setiap tahunnya akan mereka penuhi. Sementara masyarakat berada dalam ketidaktahuan dan kebingungan. Sekelompok orang ada yang mengatakan tidak baik kalau ada tambang sedangkan sebagian lagi mengatakan keberadaan tambang nantinya dapat berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan warga sekitarnya. Hal ini kemudian mengarah pada pertentangan antara masyarakat yang menerima dengan masyarakat yang menolak karena selain konflik yang bersifat vertikal, siasat perusahaan melakukan rekruitmen terhadap masyarakat lokal adalah untuk dijadikan sebagai tameng perusahaan ketika harus berhadapan dengan kelompok masyarakat yang kontra. Akhirnya terjadilah konflik horisontal antara masyarakat yang pro dan masyarakat yang kontra terhadap eksistensi perusahaan. Kasus di Kelurahan Rahampuu Kecamatan Kabaena sudah membuktikan. Salah seorang warga yang menolak arealnya dijadikan titik pengambilan sampel menghadang salah seorang warga yang dianggap sebagai pemandu tim penggalian sampel dari PT. Timah Eksplomin yang melakukan pengambilan sampel untuk tambang Nikel.
Mungkin terlalu pesimis jika kita kemudian bertanya; Kesejahteraan mana yang akan berubah? Penduduk yang mana yang dapat meningkat kesejahteraannya? Warga mana yang memperoleh penghasilan baru kalau perusahaan yang ada hanya mengambil bahan mentah tambang di Kabaena dan mengolahnya di tempat lain. Apakah penduduk yang sehari-harinya membawa kendaraan roda dua alias ojek yang akan meningkat kesejahteraannya karena berharap akan mengendarai kendaraan roda empat/alat berat perusahaan? Bagaimana dengan lokasi dan hasil perkebunan mereka jika hasil yang ada di Kabaena sudah habis? Ditanami kembali dengan tanaman produksi atau akan menjadi lahan kritis?
Sementara kita tahu bahwa dalam melakukan produksi, perusahaan tambang menggunakan teknologi tinggi, hampir semua menggunakan mesin atau alat-alat yang berteknologi tinggi. Tenaga manusia lebih difungsikan sebagai operator dari alat berteknologi tinggi tersebut. Penggunaan teknologi tinggi diharapkan dapat meningkatkan efesiensi dan efektifitas proses produksi. Kecenderungan menggunakan teknologi tinggi tersebut menyebabkan sulitnya akses masyarakat lokal terhadap perusahaan karena teknologi tinggi tersebut yang tentunya membutuhkan keahlian (skill) dan kemampuan (capability) tinggi, otomatis, tenaga kerja yang dibutuhkan harus memenuhi kualifikasi standar pendidikan dan pengalaman kerja yang tidak mungkin dimiliki oleh masyarakat lokal.
Saya kira kita perlu belajar pada kasus perusahaan tambang yang ada di muka bumi ini. Tetap saja yang bahagia hanya sekelompok orang dan menyengsarakan ribuan orang lainnya sementara pemerintah hanya akan memberikan janji-janji tanpa pernah memberikan solusi yang pasti untuk kelanjutan hidup mereka. Sebab sumber daya alam Indonesia pun sudah tergadai dengan utang-utang luar negeri.
Terbukti, janji salah satu perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Timur Kabaena untuk mengutamakan karyawan dari orang-orang lokal untuk direkrut menjadi tenaga kerja kini mulai dirisaukan oleh warga setempat. Dari perekrutan yang sudah dilakukan, presentasi tenaga kerja yang lolos antara penduduk lokal dan bukan sudah mulai menimbulkan pertanyaan. Sementara, debit air yang ada di tempat tersebut juga sudah mulai dirasakan berkurang oleh warga belum lagi debu yang menggangu penglihatan dan pernafasan warga pada siang hari. Sekedar untuk diketahui bahwa lokasi penambangan berada dibagian hulu pemukiman penduduk.
Kalau perusahaan beroperasi baru beberapa bulan saja sudah menimbulkan persoalan seperti itu, bagaimana kalau penambangan sudah berjalan beberapa tahun dan selesai melakukan penambangan? Semoga kita semua khususnya pemerintah daerah dan berbagai pihak yang terkait dapat merenungkan kembali janji kesejahteraan rakyat Kabaena jika kelak tambang akan beroperasi. Jangan hanya karena ini mengejar PAD sehingga kelestarian lingkungan diabadikan.
Kita semua tahu bahwa Corporate social responsibility (CSR) atau tanggungjawab sosial perusahaan masih menjadi dominasi pemerintah daerah. Proses pembagian dana CSR tidaklah menjamin adanya perbaikan kualitas hidup masyarakat sekitar pertambangan karena proses pemanfaatannya didominasi oleh pemerintah daerah. Community Development (Comdev) atau dana yang diperuntukkan pengembangan masyarakat juga sangat jauh dari akses masyarakat sekitar. Bahkan di beberapa daerah, dana comdev dimasukkan dalam APBD sehingga pengelolaannya didominasi oleh pemerintah daerah dan masyarakat hanya dapat menikmati langsung bantuan-bantuan yang bersifat karitatif (belas kasihan) itupun bukan langsung kepada masyarakat tapi melalui aparat Kecamatan ataupun aparat Desa.
Pemerintah Bombana seharusnya menyadari bahwa sumber kesejahteraan rakyat kabaena bukan hanya dari tambang. Kabaena punya potensi jambu mete ± 9218 Ha pada tahun 2005 (Bombana dalam Angka Tahun 2005) dengan produksi secara keseluruhan 5.569,35 pada tahun 2005 dan diproduksi oleh 8461 Kepala Keluarga (Bombana dalam angka tahun 2005) setiap tahun dan potensi ini belum dikelola dengan baik. Selama ini masyarakat hanya menjual jambu gelondongan. Kalau saja jambu ini bisa diolah seperti pengolaan jambu mete di Lombe Kabupaten Buton menjadi kacang mete tentu warga Kabaena akan langsung merasakan manfaatnya yang berbeda kalau dijual secara gelondongan. Belum lagi potensi pohon aren dengan luas areal ± 1678 dengan 2.064 petani yang menggantungkan hidup dari menyadap enau. Karena sekarng petani hanya bisa mengelola secara tradisional sedangkan bantuan budidaya tanaman arena belum pernah mereka dapatkan. Potensi ini juga belum dikelola dengan optimal. Dan berbagai macam potensi lain yang kalau diolah hampir-hampir tidak akan menimbulkan ancaman kerusakan lingkungan hidup.
Kenapa tidak Pemda Bombana atau DPRD Bombana melakukan studi banding di Pulau Marore di Pabrik Gula Aren Masarang Kelurahan Tondangow, Kecamatan Tomohon Selatan, Provinsi Sulawesi Utara untuk belajar bagaimana membudidayakan dan mengelola aren sehingga bisa diekspor ke Eropa dan berhasil meningkatkan kesejahteraan 3500 warga Tomohon daripada studi banding ke Batam atau Kalimantan yang kondisinya sudah berbeda jauh dari Bombana? Jangan hanya studinya 1 hari tapi waktu untuk membandingkan harga barang di pusat perbelanjaan yang 3 hari.
Lebih baik pemerintah Bombana menghentikan harapan PAD dari tambang dan beralih pada pemberdayaan dan pengelolaan potensi bombana yang sudah dikenal sejak zaman dahulu. Sawah di kecamatan Rarowatu yang perlu pengairan yang baik, ikan di selat kabaena yang setiap tahun dicuri oleh nelayan dari luar Bombana, jambu di Kabaena yang hanya dijual gelondongan dan potensi objek wisata yang selalu dibanggakan tapi tidak pernah dipersiapakan dengan baik supaya bisa menjadi tujuan wisata domestik dan mancanegara dan berbagai potensi lainnya. Sehingga Bombana bisa menjadi negeri masa depan bukan sebaliknya, Bombana menjadi negeri yang ngerii masa depan. Semoga.
posted by Hary de Lacandona


Sunday, July 13, 2008

Sagori, Segitiga Bermuda di Kabaena

Kemolekan Pulau Sagori, Kabaena, Sulawesi Tenggara, kerap dinikmati oleh turis mancanegara sebelum tragedi bom Bali Oktober 2002. Pulau itu menyimpan misteri, antara lain seringnya kapal karam. Pantas banyak yang menyebutnya Segitiga Bermuda di Kabaena.
Pulau Sagori di Kecamatan Kabaena, Kabupaten Bombana, itu merupakan karang atol berbentuk setengah lingkaran. Pulau tersebut tak lebih dari onggokan pasir putih dengan panjang sekitar 3.000 meter dan pada bagian tengah yang paling lebar, 200 meter.
Wisatawan asing biasanya singgah di pulau itu dengan kapal pesiar setelah mengunjungi sejumlah obyek wisata di Kabupaten Buton dan Muna. Di Sagori mereka berjemur di atas pasir putih sambil menunggu bola matahari yang perlahan meredup saat hendak terbenam. Seusai menyaksikan gejala alam yang mengagumkan itu mereka pun melanjutkan perjalanan.

Sagori sebetulnya lebih menarik jika dilihat dari pegunungan di Pulau Kabaena. Dari ketinggian jarak jauh itu Sagori menampilkan sapuan empat warna, yakni biru tua sebagai garis terluar, biru muda, garis putih, kemudian hijau di tengah. Warna hijau bersumber dari tajuk-tajuk pohon cemara yang melindungi pulau tersebut.

Jarak terdekat dengan daratan Kabaena sekitar 2,5 mil. Namun, pengunjung biasanya bertolak dari Sikeli, kota pelabuhan di Kecamatan Kabaena Barat, dengan jarak sekitar empat mil atau sekitar 30 menit dengan perahu motor. Sagori merupakan wilayah Kelurahan Sikeli.

Kata ”sagori” konon diambil dari nama seorang gadis yang ditemukan warga Pongkalaero–kini sebuah desa di Kabaena —pada saat air surut tak jauh dari pulau itu. Gadis itu diceritakan menghuni kima raksasa yang terjebak karena air surut.

Saat ditemukan, gadis tersebut dalam keadaan lemah tak berdaya. Para pemburu hasil laut kemudian menggendongnya ke sebuah onggokan pasir sebelum dibawa ke mokole (raja) di Tangkeno di lereng Gunung Sangia Wita, puncak tertinggi (1.800 meter) di Kabaena.

Namun, setelah beberapa saat diistirahatkan di onggokan pasir, gadis tersebut meninggal dunia. Sebelum meninggal ia sempat menyebut namanya, Sagori. Sejak itu penduduk menamakan onggokan pasir itu Pulau Sagori.

Kuburan kapal

Keindahan Sagori di atas permukaan sangat kontras dengan kondisi alam dasar laut di sekitar pulau tersebut. Belantara batu karang yang terhampar di kawasan perairan pulau itu menyimpan misteri yang menyulitkan para pelaut, bahkan tidak jarang membawa petaka yang amat menakutkan.

Seperti diungkapkan beberapa tokoh masyarakat suku Sama (Bajo) di Kabaena, karang dan perairan Pulau Sagori hampir setiap dua tahun menelan korban berupa kapal pecah karena menabrak karang maupun korban manusia yang dibawa hanyut gulungan ombak pantai pulau tersebut.

Musim libur tahun lalu, misalnya, seorang siswa SMA Negeri 1 Kabaena tewas dihantam ombak yang datang mendadak saat dia bersama sejumlah temannya mandi-mandi di pantai. Sebelumnya, seorang ibu mengalami nasib serupa tatkala sedang mandi-mandi di sana.

Menjelang Lebaran lalu, sebuah kapal kayu kandas kemudian tenggelam di perairan pulau itu saat kapal dalam perjalanan dari Sikeli menuju Jeneponto, Sulawesi Selatan. Tidak ada korban jiwa, kecuali kapal tak dapat diselamatkan.

Dua tahun sebelumnya kecelakaan menimpa sebuah kapal dalam perjalanan dari Bulukumba (Sulsel) menuju Maluku dengan muatan sembako dan bahan bangunan.

”Tidak bisa dihitung lagi jumlah kapal yang terkubur di dasar laut Sagori,” ujar Uja’ (60), nelayan Sikeli dari suku Bajo.

”Kuburan” tersebut termasuk rongsokan kapal layar VOC dan kapal yang diperkirakan berasal dari China di kedalaman sekitar 13 meter saat air surut. Subair (57), Kepala SMP Negeri Sikeli, menemukan kapal tersebut pada 1973. ”Saya yakin itu kapal China karena masih menyimpan harta karun berupa piring antik dan gerabah lainnya,” katanya.

Menurut Subair, kecuali barang pecah belah, petunjuk lainnya adalah simbol-simbol China pada kapal maupun gambargambar naga yang terukir jelas.

Cerita seputar Pulau Sagori mirip Segitiga Bermuda (Bermuda Triangle) di Lautan Atlantik. Sagori juga menjadi kuburan bagi kapal-kapal yang berlayar mendekati pulau yang terletak 2,5 mil arah barat daya Pulau Kabaena itu.

Perairan Segitiga Bermuda terbentuk oleh garis (lurus) imajiner yang menghubungkan tiga titik, masing-masing di Pulau Bermuda, Miami (AS), dan Puerto Rico. Di wilayah perairan segitiga itulah dunia selalu dikejutkan denngan hilangnya sejumlah kapal bersama penumpang dan awaknya tanpa bekas. Bahkan, pesawat terbang juga kerap kali hilang misterius di atas perairan itu tanpa bisa dideteksi. Karena itu, Segitiga Bermuda dikenal sebagai ”Kuburan Atlantik”.

Tragedi kapal VOC

Kecelakaan laut terbesar di Sagori terjadi pertengahan abad ke-17 yang menimpa lima kapal milik VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), perusahaan dagang Kerajaan Belanda di Asia Timur yang beroperasi di Nusantara untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah. Kelima kapal itu bersamaan menabrak karang dalam perjalanan iring-iringan dari Batavia menuju Ternate (Maluku Utara).

Informasi agak lengkap tentang peristiwa empat abad silam itu dipaparkan Horst H Liebner, tenaga ahli bidang budaya dan sejarah bahari pada Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, saat mengikuti Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara IX di Bau-Bau, 5-8 Agustus 2005 lalu.

Menurut Liebner, peristiwa kandasnya kelima armada VOC di karang Pulau Sagori pada 4 Maret 1650 itu amat menarik untuk diteliti lebih mendetail. Namun, dia mengaku belum sempat membaca keseluruhan naskah catatan harian awak kapal tersebut.

Kelima kapal layar Belanda itu adalah Tijger, Bergen op Zoom (berdaya angkut 300 ton), Luijpaert (320 ton), De Joffer (480 ton), dan Aechtekercke (100 ton). Data daya angkut Tijger yang bertindak sebagai kapal komando tak disebutkan oleh Liebner. Seluruh penumpang (581 orang) dapat diselamatkan. Mereka terdiri dari awak kapal, serdadu, dan saudagar.

Malapetaka tersebut sangat menyengsarakan seluruh penumpang yang terancam kekurangan perbekalan. ”Kami bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kami masih dapat menyelamatkan sedikit beras yang kering,” tutur Liebner mengutip jurnal yang ditulis salah seorang awak kapal.

Lokasi kecelakaan merupakan daerah asing bagi para pelaut Belanda maupun dunia pelayaran umumnya di zaman itu. Pulau Kabaena yang terdekat dengan lokasi musibah, dalam laporan disebut Pulau Comboina.

Penduduk setempat yang datang ke lokasi pada dasarnya bukan bermaksud menolong, tetapi menjarah seandainya tak dicegah oleh awak kapal. Penduduk yang dilukiskan sebagai ”orang hitam” diartikan Liebner sebagai etnis Sama (Bajo) yang mendiami pesisir Pulau Kabaena.

Hal itu dibenarkan tokoh Bajo H Djafar alias Nggora (80-an). ”Orang Bajo datang membantu sambil mengambil kain untuk bahan pakaian,” tuturnya mengutip tradisi lisan masyarakat Bajo seputar kecelakaan lima kapal VOC 400 tahun silam itu.

Setelah menjelang seminggu hidup di Pulau Sagori tanpa tanda-tanda kemungkinan adanya pertolongan, pimpinan pelaut Belanda memutuskan mengirim sebuah sekoci ke Ambon untuk melaporkan kecelakaan itu kepada Laksamana de Vlamingh.

Mereka juga berusaha membuat sendiri kapal menggunakan bahan-bahan dari kapal yang telah pecah berantakan. Awak kapal menyelamatkan barang dagangan dan 87 pucuk meriam.

Kapal hasil rakitan yang kemudian diberi nama Trostenburg (benteng pelipur lara) itu diluncurkan awal Mei, hampir bersamaan datangnya kapal bantuan pada 7 Mei 1650 yang dikirim atas perintah de Vlamingh. Kedatangan kapal bantuan itu sangat terlambat karena terhalang angin barat yang saat itu bertiup kencang.

Tragedi segera berakhir ketika semua awak kapal bersama muatan dan meriam diangkut ke Batavia. Bangkai kapal tersebut kini masih tergeletak pada kedalaman sekitar lima meter di dasar laut Pulau Sagori. ”Mesin dan baling-balingnya masih ada,” tutur Uja’.

Wednesday, July 9, 2008

Kabaena Diusulkan Jadi Kabupaten

Rumbia, Kqpres- Perjuangan sebagian besar warga Kabaena untuk menjadikan daerah ini sebagai sebuah daerah tingkat dua yang otonom nampaknya semakin giat dilakukan.
Ide pemekaran Kabupaten Kabaena ini digagas oleh tim tujuh yang merupakan warga Kabaena, diantaranya Drs H Zainuddin Tahyas SE MS, Adi Marno, Abd Majid, Amsir, Kasman, Abd Rahman AH dan Muh Arham.

Dikatakan Adi Manto, saat ini upaya yang telah dilakukan untuk pemekaran kabupaten Kabaena diantaranya pihaknya sudah mengirimkan laporan usulan tersebut di tingkat pusat kemudian ke Gubernur Sultra termasuk Bupati Bombana yang dinilai memberikan dukungan besar terhadap pembentukan Kabupaten Kabaena ini.

"Pemda Bombana sangat merespon usulan dan gagasan kami ini. Bahkan Bupati sarankan agar pulau Kabaena dijadikan sebagai perdagangan bebas intemasional sehingga bisa sejajar dengan Batam, Bintang serta Kangeang. Sekarang proposal untuk daerah perdagangan intemasional masih sementara kami kerjakan," katanya.

Kemudian pada 2010 mendatang, Kabaena diharapkan sudah menjadi sebuah daerah otonom. Terlebih-lebih lagi, pulau Kabaena merupakan salah satu lokasi yang memiliki potensi tambang yang membanggakan diantaranya nikel, marmer, minyak tanah, emas, timah putih yang dinilai sebagai aset PAD bagi daerah ini.

Sedangkan untuk jumlah penduduk dianggap sudah memenuhi syarat untuk menjadi sebuah kabupaten. Karena data 2006 lalu, penduduk Kabaena mencapai 24 ribu jiwa dan jumlah ini dipastikan akan bertembah. Kemudian saa ini di pulau Kabaena sudah terdapat enam kecamatan dan nantinya diperkirakan akan bertambah satu kecamatan yakni Talaga Raya.

Bahkan dikatakan, saat ini pihaknya sudah mendapatkan dukungan dari tokoh di Talaga Raya. Selanjutnya untuk jumlah desa di pulau Kabaena mencapai 28 plus 5 kelurahan.
Dalam proposal usulan pembentukan Kabupaten Kabaena ini, sama sekali tidak ada tendensi politik karena menurutnya hal ini memang berdasarkan aspirasi dan keinginan sebagian besar warga pulau Kabena.

"Di dalarn usulan proposal atau maklumat tim tujuh pembentukan kabupaten Kabaena, tidak ada yang kami jadikan ketua ataupun anggota karena ide dan niat tim tujuh memang berdasarkan hati nurani," ujarnya. CR3/B/DUL

PT.Pertamina (Persero) , Indonesia - Corporate Website - Warta Pertamina