Monday, July 21, 2008

Pertambangan dan Kesejahteraan Rakyat Kabaena

Luas Pulau Kabaena secara geografis 867,89 KM2 pada Tahun 1985 potensi sumber daya hutan di Pulau kabaena tercatat seluas 95.050 Hektar, sedangkan pada Tahun 1998 luas kawasan hutan hanya tersisa seluas 53.400 Hektar. Dimana kerusakan hutan yang terjadi selama kurun waktu 13 tahun seluas 41.650 Hektar atau 43,82 %. Dampak dari kerusakan hutan tersebut telah terlihat dan dirasakan oleh masyarakat Pulau Kabaena yang justru tidak menikmati hasil hutan yang dieksploitasi, antara lain; (i) berkurangnya debit air disejumlah sungai yang selama ini digunakan oleh masyarakat sebagai sumber mata air untuk dikonsumsi dan digunakan sehari-hari, bahkan beberapa anak sungai mengalami kekeringan pada musim kemarau, (ii) lahan-lahan pertanian mengalami kekeringan bahkan sebagian ditinggalkan oleh petani pemiliknya dan menjadi TKI di Malaysia, (iii) berkurangnya satwa liar yang ada dihutan. Pada sisi yang lain akses masyarakat terhadap hutan dibatasi oleh pemerintah dengan berbagai alasan.

Luas Pulau Kabaena secara geografis 867,89 KM2 pada Tahun 1985 potensi sumber daya hutan di Pulau kabaena tercatat seluas 95.050 Hektar, sedangkan pada Tahun 1998 luas kawasan hutan hanya tersisa seluas 53.400 Hektar. Dimana kerusakan hutan yang terjadi selama kurun waktu 13 tahun seluas 41.650 Hektar atau 43,82 %. Dampak dari kerusakan hutan tersebut telah terlihat dan dirasakan oleh masyarakat Pulau Kabaena yang justru tidak menikmati hasil hutan yang dieksploitasi, antara lain; (i) berkurangnya debit air disejumlah sungai yang selama ini digunakan oleh masyarakat sebagai sumber mata air untuk dikonsumsi dan digunakan sehari-hari, bahkan beberapa anak sungai mengalami kekeringan pada musim kemarau, (ii) lahan-lahan pertanian mengalami kekeringan bahkan sebagian ditinggalkan oleh petani pemiliknya dan menjadi TKI di Malaysia, (iii) berkurangnya satwa liar yang ada dihutan. Pada sisi yang lain akses masyarakat terhadap hutan dibatasi oleh pemerintah dengan berbagai alasan.

Luas Pulau Kabaena secara geografis 867,89 KM2 pada Tahun 1985 potensi sumber daya hutan di Pulau kabaena tercatat seluas 95.050 Hektar, sedangkan pada Tahun 1998 luas kawasan hutan hanya tersisa seluas 53.400 Hektar. Dimana kerusakan hutan yang terjadi selama kurun waktu 13 tahun seluas 41.650 Hektar atau 43,82 %. Dampak dari kerusakan hutan tersebut telah terlihat dan dirasakan oleh masyarakat Pulau Kabaena yang justru tidak menikmati hasil hutan yang dieksploitasi, antara lain; (i) berkurangnya debit air disejumlah sungai yang selama ini digunakan oleh masyarakat sebagai sumber mata air untuk dikonsumsi dan digunakan sehari-hari, bahkan beberapa anak sungai mengalami kekeringan pada musim kemarau, (ii) lahan-lahan pertanian mengalami kekeringan bahkan sebagian ditinggalkan oleh petani pemiliknya dan menjadi TKI di Malaysia, (iii) berkurangnya satwa liar yang ada dihutan. Pada sisi yang lain akses masyarakat terhadap hutan dibatasi oleh pemerintah dengan berbagai alasan. Hal ini menambah keterpurukan masyarakat Pulau Kabaena yang secara turun-temurun menggantungkan hidupnya terhadap hasil hutan.
Belum selesai persoalan hutan, masyarakat pulau Kabaena kembali akan dihadapkan pada persoalan baru yakni soal pertambangan. Pulau Kabaena memiliki potensi pertambangan seluas ± 35.606 hektar untuk nikel dan ± 2400 Ha untuk Batu kromit serta beberapa jenis bahan galian tambang lainnya. Potensi tambang ini mulai diincar oleh 12 perusahaan tambang yang telah mengantongi izin dari pemerintah Kab. Bombana baik izin penyelidikan umum maupun izin eksplorasi maupun eksploitasi.
Kabaena memang memiliki potensi sumber daya alam yang banyak mulai dari bahan tambang dan hasil bumi lainnya. Begitu banyaknya potensi tersebut membuat masyarakat menjadi bingung untuk memulai usaha apa, pada akhirnya pilihan jatuh pada sifat ogah-ogahan pada potensi yang ada. Disamping tidak tahu cara mengelola yang baik, tempat untuk pemasaran juga belum jelas karena sarana transportasi belum mengalami perubahan yang signifikan sejak Negara Indonesia merdeka.
Melihat potensi sumber daya yang banyak itu, pemerintah daerah Bombana mulai dari level paling atas sampai yang paling bawah sibuk mempromosikan potensi Kabaena di berbagai kesempatan kemudian menyambut dan mengantar investor untuk meninjau lokasi sumber daya alam tersebut. Kesempatan bertemu dengan masyarakat digunakan untuk mengkampanyekan manfaat yang akan diperoleh kelak jika investor memulai usahanya di Kabaena khususnya investor tambang. Dan masyarakat mulai diiming-imingi mata pencaharian yang baru dan konon ‘lebih layak’.
Akan tetapi, masyarakatpun mulai resah dengan janji yang belum jelas tentang posisi mereka kelak ketika perusahaan itu mulai beroperasi. Masyarakat yang berpikir praktis tidak kehabisan akal, mereka diam-diam bergegas menuju ke lokasi yang diperkirakan termasuk wilayah tambang dan membuat kebun. Cara ini dilakukan agar nantinya kelak setelah beroperasi dan lokasi kebunnya termasuk dalam areal konsesi tentunya harapan untuk memperoleh ganti rugi tanaman cukup besar di samping itu ada juga tanaman masyarakat yang sudah dikembangbiakkan sejak berpuluh-puluh tahun seperti jambu bete, kelapa dan beberapa tanaman buah laiinya.
Namun kita tidak boleh berpikir sesederhana dan sepraktis itu. Belajar dari berbagai daerah tambang di Indoensia justru masyarakat disekitar tambang harus tersingkir atau menjadi miskin ditengah limpahan hasil tambang. Satu pertanyaan penting yang mesti dipikirkan, dimana kedudukan anak-cucu orang Kabaena terhadap sumber daya alam Kabaena tersebut? Haruskah kemudian warga asli Kabaena mengungsi jauh-jauh dari areal tambang hanya karena lokasi lahan perkebunan mereka telah ’dijual’ kepada investor? Atau mereka harus berjalan berpuluh-puluh kilometer untuk mencari sumber air dan membuka lahan perkebunan? Atau yang paling ekstrim, beberapa tahun lagi kita akan menyaksikan hamparan tanah tandus bekas galian tambang dan juga pemukiman warga terkena banjir karena hutan sudah gundul semua.
Tentu saja jika masalah lingkungan hidup sudah ada pada areal pertambangan, maka investor akan menjawab, “kami sudah bekerja sesuai dengan prosedur dalam melakukan penambangan dan pemerintah sudah menyutujui langkah-langkah itu sebab telah melalui proses AMDAL. Kami tinggal menyetor dana reboisasi kepada pemerintah dan pemerintah akan mengelola bekas lahan tersebut bersama masyarakat”. Dengan menyerahkan segala urusan kepada pemerintah untuk kemudahan, kenyamanan dan cepatnya proses pengeluaran ijin, maka secara langsung telah menyebabkan terjadinya konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah daerah dalam proses penanganan resistensi masyarakat terutama soal status lahan, hak atas tanah dan masalah lingkungan.
Dan pemerintah akan berkilah bahwa kami telah mengingatkan perusahaan, jika tidak mengindahkan aturan yang kami tetapkan maka izin mereka akan kami cabut. Lagipula ada kewajiban yang setiap tahunnya akan mereka penuhi. Sementara masyarakat berada dalam ketidaktahuan dan kebingungan. Sekelompok orang ada yang mengatakan tidak baik kalau ada tambang sedangkan sebagian lagi mengatakan keberadaan tambang nantinya dapat berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan warga sekitarnya. Hal ini kemudian mengarah pada pertentangan antara masyarakat yang menerima dengan masyarakat yang menolak karena selain konflik yang bersifat vertikal, siasat perusahaan melakukan rekruitmen terhadap masyarakat lokal adalah untuk dijadikan sebagai tameng perusahaan ketika harus berhadapan dengan kelompok masyarakat yang kontra. Akhirnya terjadilah konflik horisontal antara masyarakat yang pro dan masyarakat yang kontra terhadap eksistensi perusahaan. Kasus di Kelurahan Rahampuu Kecamatan Kabaena sudah membuktikan. Salah seorang warga yang menolak arealnya dijadikan titik pengambilan sampel menghadang salah seorang warga yang dianggap sebagai pemandu tim penggalian sampel dari PT. Timah Eksplomin yang melakukan pengambilan sampel untuk tambang Nikel.
Mungkin terlalu pesimis jika kita kemudian bertanya; Kesejahteraan mana yang akan berubah? Penduduk yang mana yang dapat meningkat kesejahteraannya? Warga mana yang memperoleh penghasilan baru kalau perusahaan yang ada hanya mengambil bahan mentah tambang di Kabaena dan mengolahnya di tempat lain. Apakah penduduk yang sehari-harinya membawa kendaraan roda dua alias ojek yang akan meningkat kesejahteraannya karena berharap akan mengendarai kendaraan roda empat/alat berat perusahaan? Bagaimana dengan lokasi dan hasil perkebunan mereka jika hasil yang ada di Kabaena sudah habis? Ditanami kembali dengan tanaman produksi atau akan menjadi lahan kritis?
Sementara kita tahu bahwa dalam melakukan produksi, perusahaan tambang menggunakan teknologi tinggi, hampir semua menggunakan mesin atau alat-alat yang berteknologi tinggi. Tenaga manusia lebih difungsikan sebagai operator dari alat berteknologi tinggi tersebut. Penggunaan teknologi tinggi diharapkan dapat meningkatkan efesiensi dan efektifitas proses produksi. Kecenderungan menggunakan teknologi tinggi tersebut menyebabkan sulitnya akses masyarakat lokal terhadap perusahaan karena teknologi tinggi tersebut yang tentunya membutuhkan keahlian (skill) dan kemampuan (capability) tinggi, otomatis, tenaga kerja yang dibutuhkan harus memenuhi kualifikasi standar pendidikan dan pengalaman kerja yang tidak mungkin dimiliki oleh masyarakat lokal.
Saya kira kita perlu belajar pada kasus perusahaan tambang yang ada di muka bumi ini. Tetap saja yang bahagia hanya sekelompok orang dan menyengsarakan ribuan orang lainnya sementara pemerintah hanya akan memberikan janji-janji tanpa pernah memberikan solusi yang pasti untuk kelanjutan hidup mereka. Sebab sumber daya alam Indonesia pun sudah tergadai dengan utang-utang luar negeri.
Terbukti, janji salah satu perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Timur Kabaena untuk mengutamakan karyawan dari orang-orang lokal untuk direkrut menjadi tenaga kerja kini mulai dirisaukan oleh warga setempat. Dari perekrutan yang sudah dilakukan, presentasi tenaga kerja yang lolos antara penduduk lokal dan bukan sudah mulai menimbulkan pertanyaan. Sementara, debit air yang ada di tempat tersebut juga sudah mulai dirasakan berkurang oleh warga belum lagi debu yang menggangu penglihatan dan pernafasan warga pada siang hari. Sekedar untuk diketahui bahwa lokasi penambangan berada dibagian hulu pemukiman penduduk.
Kalau perusahaan beroperasi baru beberapa bulan saja sudah menimbulkan persoalan seperti itu, bagaimana kalau penambangan sudah berjalan beberapa tahun dan selesai melakukan penambangan? Semoga kita semua khususnya pemerintah daerah dan berbagai pihak yang terkait dapat merenungkan kembali janji kesejahteraan rakyat Kabaena jika kelak tambang akan beroperasi. Jangan hanya karena ini mengejar PAD sehingga kelestarian lingkungan diabadikan.
Kita semua tahu bahwa Corporate social responsibility (CSR) atau tanggungjawab sosial perusahaan masih menjadi dominasi pemerintah daerah. Proses pembagian dana CSR tidaklah menjamin adanya perbaikan kualitas hidup masyarakat sekitar pertambangan karena proses pemanfaatannya didominasi oleh pemerintah daerah. Community Development (Comdev) atau dana yang diperuntukkan pengembangan masyarakat juga sangat jauh dari akses masyarakat sekitar. Bahkan di beberapa daerah, dana comdev dimasukkan dalam APBD sehingga pengelolaannya didominasi oleh pemerintah daerah dan masyarakat hanya dapat menikmati langsung bantuan-bantuan yang bersifat karitatif (belas kasihan) itupun bukan langsung kepada masyarakat tapi melalui aparat Kecamatan ataupun aparat Desa.
Pemerintah Bombana seharusnya menyadari bahwa sumber kesejahteraan rakyat kabaena bukan hanya dari tambang. Kabaena punya potensi jambu mete ± 9218 Ha pada tahun 2005 (Bombana dalam Angka Tahun 2005) dengan produksi secara keseluruhan 5.569,35 pada tahun 2005 dan diproduksi oleh 8461 Kepala Keluarga (Bombana dalam angka tahun 2005) setiap tahun dan potensi ini belum dikelola dengan baik. Selama ini masyarakat hanya menjual jambu gelondongan. Kalau saja jambu ini bisa diolah seperti pengolaan jambu mete di Lombe Kabupaten Buton menjadi kacang mete tentu warga Kabaena akan langsung merasakan manfaatnya yang berbeda kalau dijual secara gelondongan. Belum lagi potensi pohon aren dengan luas areal ± 1678 dengan 2.064 petani yang menggantungkan hidup dari menyadap enau. Karena sekarng petani hanya bisa mengelola secara tradisional sedangkan bantuan budidaya tanaman arena belum pernah mereka dapatkan. Potensi ini juga belum dikelola dengan optimal. Dan berbagai macam potensi lain yang kalau diolah hampir-hampir tidak akan menimbulkan ancaman kerusakan lingkungan hidup.
Kenapa tidak Pemda Bombana atau DPRD Bombana melakukan studi banding di Pulau Marore di Pabrik Gula Aren Masarang Kelurahan Tondangow, Kecamatan Tomohon Selatan, Provinsi Sulawesi Utara untuk belajar bagaimana membudidayakan dan mengelola aren sehingga bisa diekspor ke Eropa dan berhasil meningkatkan kesejahteraan 3500 warga Tomohon daripada studi banding ke Batam atau Kalimantan yang kondisinya sudah berbeda jauh dari Bombana? Jangan hanya studinya 1 hari tapi waktu untuk membandingkan harga barang di pusat perbelanjaan yang 3 hari.
Lebih baik pemerintah Bombana menghentikan harapan PAD dari tambang dan beralih pada pemberdayaan dan pengelolaan potensi bombana yang sudah dikenal sejak zaman dahulu. Sawah di kecamatan Rarowatu yang perlu pengairan yang baik, ikan di selat kabaena yang setiap tahun dicuri oleh nelayan dari luar Bombana, jambu di Kabaena yang hanya dijual gelondongan dan potensi objek wisata yang selalu dibanggakan tapi tidak pernah dipersiapakan dengan baik supaya bisa menjadi tujuan wisata domestik dan mancanegara dan berbagai potensi lainnya. Sehingga Bombana bisa menjadi negeri masa depan bukan sebaliknya, Bombana menjadi negeri yang ngerii masa depan. Semoga.
posted by Hary de Lacandona


No comments:

PT.Pertamina (Persero) , Indonesia - Corporate Website - Warta Pertamina