Monday, July 21, 2008

Pertambangan di Kabaena, Berkah atau Bencana

Pulau Kabaena memiliki struktur tanah berwarna coklat kemerahan. Persis sama dengan struktur tanah di Pomalaa, kabupaten Kolaka yang dikenal sebagai daerah penghasil nikel terbesar di Sultra.

Oleh Rustam

Pulau Kabaena pertama kali diketahui memiliki kandungan nikel sejak dekade 70-an, saat pertama kali PT. Inco, Tbk, salah satu perusahaan nikel terbesar di Indonesia mengutus sejumlah ahli geologinya untuk melakukan survey dan memastikan 80 persen pulau tersebut memiliki kandungan nikel yang cukup besar dan kadar yang lumayan tinggi.

Dari informasi itulah masyarakat baru tahu kalau di daerahnya memiliki kandungan nikel yang bisa diolah. Pemerintah kabupaten Bombana menangkap peluang ini, sekaligus menetapkan pulau Kabaena sebagai kawasan Pertambangan.

Bupati Bombana Atiku Rahman, yang baru saja dilantik 2005 silam, langsung melakukan gebrakan di bidang ekonomi. Bupati langsung mengeluarkan kebijakan berupa izin pertambangan atau lazimnya disebut Kuasa Pertambangan (KP) kepada investor dengan jangka waktu operasi tiga sampai lima tahun. Tercatat, hingga saat ini ada 19 KP yang mendapatkan legitimasi dari bupati Bombana untuk melakukan aktivitas pertambangan.

Sembilanbelas KP masing-masing, PT.Inco,Tbk, PT.Billy Indonesia, PT.Multi Sejahtera, PT.Orextend Indonesia, PT. Lentera Dinamika, PT.Timah, PT.Intan Mining Jaya, PT. Margo Karya Mandiri, PT.Tekonindo, PT.Bahana Multi Energi, CV. Bumi Sejahtera, PT. Gerbang Multi Sejahtera, PT. Dharma Pahala Mulia, PT. Integra Mining Nusantara, PT.Makmur Lestari Primatama, PT.Lumbini Raya, PT.Arga Morini Indah, PT.Bukit Anugrah Abadi dan PT.Konawe Inti Utama.

Dari 19 persusahaan tersebut, satu diantaranya yakni PT.Billy Indonesia telah melakukan eksploitasi dan beberapa diantaranya masih tahap eksplorasi dan penyidikan umum. Setiap perusahaan memiliki izin konsesi ribuan hektare, kecuali PT. Billy yang hanya memiliki luas konsesi 194 hektare.

Sudah cukupkah dengan 19 KP yang ada? Kadis Pertambangan dan Energi Kabupaten Bombana Ir.Kahar menyatakan idealnya 24 perusahaan untuk mengolah nikel yang ada di pulau Kabaena. Dia yakin dengan banyaknya perusahaan yang masuk akan mendapatkan royalty dan sumbangan lainnya yang banyak buat daerah. Walaupun faktanya hingga saat ini belum mendongkar penerimaan PAD dari sector ini.
“Kita sebagai daerah penghasil mendapatkan kecil sekali dari royalty yakni 4 persen. Kami baru mendapatkan bagian dari pusat sekitar Rp.2 miliar,” kata Kahar.

Mengapa perusahaan pertambangan ini dengan mudah mendapatkan izin? Pemda memberikan kemudahan bagi setiap investor untuk melakukan ekspansi. Pemda tak ingin dipusingkan dengan berbagai problem bagaimana mencari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sebanyak-banyaknya. Pertambangan cepat mendatangkan uang yang banyak tanpa harus menunggu waktu lama dan tak perlu melibatkan banyak aparatur Pemda untuk mengawasi dan memikirkannya.

Sayangnya kebijakan bupati ini tidak mendapat simpati dari masyarakat pulau Kabaena yang telah memilihnya sebagai bupati terpilih. 75 persen masyarakat setempat menolak pertambangan dan selebihnya lagi menerima dan masih pikir-pikir. Warga yang menerima pada umunya memiliki lahan dan tanaman yang diming-imingi akan diganti rugi, sedangkan yang menolak adalah mereka yang tidak memiliki lahan tapi ikut merasakan dampak negatifnya. Ganti rugi tanaman yang ditawarkan kepada warga pun cukup murah, antara Rp.100.000 dan Rp.200.000. Tergantung besarnya pohon.

Majid, kepala desa Tangkeno, kecamatan Kabaena induk, yang juga ketua adat Kabaena, mengatakan masyarakat Kabaena sudah berulang kali melakukan aksi demonstrasi menolak masuknya pertambangan, namun tak digubris bupati maupun anggota dewan.

”Rupanya aspirasi itu hanya sampai dimeja kerja DPRD Bombana saja,” kata Majid.
Dia juga sepakat dan mendukung penolakan kehadiran tambang. “Perusahaan-perusahaan itu akan meninggalkan pulau Kabaena dengan lubang-lubang yang menganga, apalagi yang bisa wariskan pada generasi kita,” keluhnya.

Aksi penolakan kerab dilakukan masyarakat bersama mahasiswa dan pencinta lingkungan. Kondisi ini tentu saja membuat sejumlah pemilik KP tidak nyaman. Langkah progresip pun dilakukan perusahaan tambang dengan memanfaatkan petugas keamanan untuk mendiamkan suara lantang masyarakat. Tiga orang masyarakat dan lima dari mahasiswa yang dianggap aktor pergerakan ditahan oleh petugas kepolisian setempat, selama beberapa hari. Mereka dituding melakukan upaya pencurian dan pengerusakan alat-alat berat milik salah satu perusahaan tambang. Aksi ini pun terhenti.

Menurut Majid, penolakan masyarakat ini dipicu oleh sikap para pemilik KP yang masuk tanpa ada sosialisasi sebelumnya, terutama mengenai AMDAL, ganti rugi lahan dan tanaman. Bahkan PT.Tekonindo yang beroperasi di desa Pangkalero, Kabaena Barat dituding telah mencaplok lahan dan tanaman warga tanpa sepengetahuan sipemiliknya.

Kebijakan Pemda yang langsung mengeluarkan izin KP tanpa ada pemberitahuan sebelumnya kepada masyarakat, dinilai sebagai sebuah jebakan untuk memaksa masyarakat menerima tambang.
“Kita sebagai masyarakat tidak bisa menolak karena kewenangan pemerintah mengeluarkan izin, tapi kenyataannya tidak ada sosialisasi, tiba-tiba perusahaan masuk membawah izin KP,” kata Syahrir, warga desa Pangkalero.

Anggota dewan dari Kabaena Amsir dan Ahmad Yani, tak banyak berbuat untuk konstetuennya. Justru kedua anggota dewan ini menyatakan di Kabaena harus tetap ada tambang demi peningkatan perekonomian daerah dan masyarakat.

Meski demikian, kedua anggota dewan ini secara lantang mengatakan bupati telah melecehkan kelembagaan dewan karena mengabaikan rekomendasi penghentian sementara aktivitas pertambangan di pulau Kabaena.

“DPRD tidak pernah tahu soal pertambangan di Kabaena. Kami mendukung sikap penolakan masyarakat, tapi ini sia-sia saja kalau tidak didukung oleh semua elemen, harus ada gerakan yang lebih besar,” kata Amsir.
Benarkah pertambangan membawah berkah bagi masyarakat? Ketika perusahaan tambang beroperasi dalam suatu kawasan, yang pertama kali terjadi adalah perubahan bentang alam yang cukup besar. Gunung-gunung dan perbukitan yang dulunya hijau, berubah drastis secara cepat menjadi gundul dan berwarna kemerahan akibat gusuran buldozer. Tak hanya mengusur pohon kayu tapi juga menggali dalam-dalam tanah yang mengandung nikel (Ore) yang kemudian diangkut dan di kirim ke luar negeri.
Fakta itu terlihat dari kejauhan di perbukitan desa Tapuhaka, Kecamatan Kabaena Timur, tempat beroperasinya PT.Billy.

Sejak beroperasinya perusahaan itu, banyak masyarakat pesisir terutama di kelurahan Lambale dan desa Dongkala, telah kehilangan mata pencarian sebagai petani rumput laut dan nelayan, sebagai akibat pencemaran air yang berasal dari rembesan tanah galian oleh PT.Billy di atas perbukitan yang bermuara ke salah satu sungai yang langsung mengalir ke laut.

“Kalau hujan deras air sungai merah dan air laut juga keruh. Sudah beberapa bulan ini kami tidak bisa lagi membibitkan rumput laut dan tangkapan ikan disini juga berkurang,” keluh La Aso, salah seorang petani rumput laut.

Nasib serupa juga dialami oleh masyarakat desa Pongkalaero, kecamatan Kabaena Induk. Warga desa ini mulai ribut soal aktivitas perusahaan PT.Tekonindo yang mencaplok lahan perkebunan jambu mete milik warga. Pencaplokan lahan itu juga tak didahului dengan sosialisasi dengan masyarakat setempat. Akibatnya, antar masyarakat saling mencurigai. Warga yang pro dengan pihak perusahaan memilih diam saja, karena mereka telah diiming-imingi ganti rugi yang belum jelas nilainya. Mereka yang kontra tentu saja dirugikan. Ada juga yang berpikir kekhawatiran terhadap keberlangsungan lingkungan dan mata pencaharian mereka.
”Kami sangat khawatir terjadi longsor, air berkurang dan biota laut juga rusak, sehingga kami tidak mendapatkan ikan lagi. Lahan kami akan berkurang sementara penduduk terus bertambah,” kata Usman, salah seorang warga setempat.

Managemen PT.Billy tentu saja tidak ingin disebut perusak lingkungan. Mereka menampik jika perusahaannya telah mencemari lingkungan.Tapi mereka juga tak memungkiri jika setiap perusahaan tambang pasti ada dampak yang ditumbulkan.

”Dimanapun tambang sudah begitu memang,” kata Slamet Mujiono, Manager Produksi PT.Billy. Slamet Mujono adalah mantan pensiunan PT.Aneka Tambang Tbk yang bekerja selama 34 tahun dan dikontrak oleh PT.Billy sejak 2007.

Mereka sangat yakin mampu menekan kerukan lingkungan dengan melakukan berbagai cara, antara lain melakukan penghijauan kembali pasca tambang dan pembuatan cekdam untuk mencegah rembesan air gunung. ”Dan kami sudah berhasil mencegah erosi,” kata Budi Widiwan, staf LK3 yang menangani lingkungan.

Bagaimana komitmen perusahaan dengan pemerintah dan masyarakat? PT.Billy yang memulai aktivitasnya dari penyidikan, eksplorasi dan saat ini telah melakukan eksploitasi telah membayarkan kewajibannya berupa royalti kepada pemerintah pusat yang selanjutnya diberikan kepada Pemda Bombana. PT.Billy juga telah mengucurkan dana Community Development (Comdev) sebesar Rp.500 juta yang diserahkan kepada Pemda yang diperuntukkan bagi masyarakat setempat.

Namun dana Comndev ini tak banyak dinikmati masyarakat, apalagi skala kecil. Justru yang lebih banyak menikmati adalah aparat pemerintah sendiri. ”Para kepala desa dan lurah menggunakan dana itu untuk perjalanan dinas,” kata La Aso.

Dana Comdev yang diberikan PT.Billy kepada masyarakat sangat kecil yakni 1.000 per ton ore yang dikapalkan. Nilai dana Comdev ini berbeda jauh yang diberikan PT.Antam yang beroperasi di Pomalaa, Kabupaten Kolaka yakni Rp.18.000 perton nikel.

Belum lagi soal perekrutan tenaga kerja dari masyarakat lokal yang tidak seimbang. Sekitar 82 % masyarakat lokal direkrut sebagai tenaga kontrak. Karena SDM-nya yang tak punya spesifikasi pertambangan, maka kebanyakan mereka ditempatkan sebagai karyawan rendahan dengan masa depan yang belum pasti. Bahkan beberapa diantara mereka yang telah diperkejakan terpaksa dipecat karena tidak mampu bekerja. Faktor inilah yang kemudian membuat warga semakin termarginalkan, setelah lahan mata pencaharian pokok mereka tersingkir karena hadirnya tambang ini.

Dampak lain dari kehadiran pertambangan adalah turunnya nilai gizi dan kesehatan keluarga. Pada umumnya di daerah pertambangan penyakit ISPA yang paling dominan. Di Kabaena Timur, gejala ISPA mulai terlihat.
”Selama beberapa bulan ini, ISPA trend meningkat, flu, iritasi mata batuk-batuk dan penyakit kulit,” kata Al Kasar Mubarak, salah satu petugas kesehatan Puskesmas Kabaena Timur.

Siti Maemunah, koordinator JATAM Indonesia mengatakan biasanya dari awal masuknya saja, perusahaan tambang sudah sering melakukan kesalahan yang disengaja. Misalnya, mereka tak punya itikad baik untuk memberikan informasi yang benar kepada masyarakat mengenai kemungkinan-kemungkinan resiko jangka panjang akibat aktivitas pengoperasian perusahaan tambang. (***)


2 comments:

Arif Gunawan Fattah said...

w0w hebat juga komentarmu untuk membangun daerah ya aku salut

Unknown said...

Ini jaman jokowi. Siapatau om jokowi bisa bantu tutup pertambangan di kabaena. Sebelom terlanjur . hidup om jokowi .

PT.Pertamina (Persero) , Indonesia - Corporate Website - Warta Pertamina