Sunday, August 17, 2008

Sejak PT Billy Indonesia membuka bukit Bumbuntuwele untuk lahan pertambangan, masyarakat Kelurahan Lambale, kecamatan Kabaena Timur mulai kekurangan air bersih. Alkautsar, tokoh pemuda di kelurahan itu mengatakan, ekses itu mereka rasakan setelah tiga bulan aktivitas PT Billy. '' Terpaksa kami gali sumur untuk bisa dapat air,” katanya. Sebelumnya, masyarakat di desa ini mengkonsumsi air sungai Lambale yang berasal dari bukit tersebut. Namun sejak adanya pengerukan tanah di bukit itu, suplai air di sungai Lambale nyaris tak dapat di manfaatkan lagi. “airnya sudah berkurang, bahkan kalau hujan, banyak lumpur merah di sungai itu,” kata Amir, petani di kelurahan Lambale.

Pasokan di tempat ini adalah air permukaan, yakni sungai Lambale dan sungai Lakalumpa. Sejak tahun 2003 lalu, 51 persen masyarakat di daerah ini sudah banyak menggunakan leding sebagai sarana air bersih untuk dikonsumsi, 38 persen menggunakan sumur gali, sumur pompa 1 persen, 40 persen dari bak penampung dan 21 persen lainnya masih mengkonsumsi air langsung dari sungai.
Polemik kelangkaan air bersih memang tidak hanya terjadi di desa Lambale. Hampir seluruh daerah Indonesia juga mengalami hal serupa. Namun, kasus yang muncul di desa Lambale saat ini, adalah benar-benar akibat eksploitasi tanah di bukit Bumbuntuwele, yang mana di bukit itu merupakan satu-satunya sumber mata air bagi masyarakat setempat.

Kamis (24/7) lalu, warga di desa ini mendatangi PT. Billy. Mereka meminta agar perusahaan itu tidak lagi meneruskan aktivitas pengerukan tanah di bukit itu. Namun, tuntutan ini ternyata tidak mendapat tanggapan baik oleh Distomi Lasimon, direktur perusahaan itu. Distomi menilai, tuntutan masyarakat salah sasaran. Menurutnya, tuntutan warga mestinya dialamatkan kepada pemerintah, bukan perusahaannya. Karena perusahaan miliknya sudah mendapatkan ijin pengolahan dari pemerintah setempat, yakni Bupati Bombana. “ Kami hanya mengambil hak kami,” ujarnya, saat berdialog dengan warga di kantornya, desa Tapuhaka kecamatan Kabaena Timur (24/7).
Syahrul, Koordinator LSM Sagori, mengatakan, bila PT. Billy berniat baik dalam menanamkan sahamnya di pulau Kabaena, mestinya mereka tidak melanjutkan pengolahannya di Bukit bumbuntuwele. “Di sana, adalah sumber mata air bagi warga setempat, kalau hilang sumber mata air itu, dimana lagi mereka bisa dapat air,” katanya. Kasus tambang-tambang di Indonesia mengajarkan satu hal ; hati-hati. Seringkali kenaikan ekonomi daerah tak relevan dengan dampak yang ditimbulkan.
Siti Maemunah juga menegaskan, hal lain yang perlu disimak adalah pertambangan skala kecil ataupun besar selalu membutuhkan lahan luas serta air dalam jumlah banyak. Karenanya, pemerintah berkewajiban menimbang sebelum izin pengelolaan tambang dilakukan. “Banyak sektor lain yang berpotensi sama dan tak merusak bisa dilakukan. Misalnya, mengolah sektor pertanian, perikanan dan kelautan,” ujarnya. (Abdul Saban)


Bagaimana Wajah Kabaena Kelak ?


Kiprah PT. Billy Indonesia memporakporanda isi perut bumi di Kabaena dimulai sejak terbitnya SK Bupati Bombana Nomor 89 tahun 2006, tentang pemberian ijin Kuasa Pertambagan (KP) eksplorasi seluas 1.300 hektar di kecamatan Kabaena Timur. Dalam bentangan ini, hanya 194 hektar yang layak untuk dieksploitasi oleh perusahaan tersebut. Hal itu sesuai dengan SK Bupati Bombana nomor 252 tahun 2007. Data LSM Sagori tahun 2008 mencatat, kondisi cadangan nikel dalam konsensi PT. Billy Indonesia adalah 2.300.000 ton, dengan kadar kemurnian Ni = 2,44 persen. Estimasi potensi ini berdasarkan hasil pemboran tanah dengan spasial 25 meter. Sesuai dengan rencana produksi yang telah ditetepkan pihak management perusahaan itu, maka pada tahun pertama akan memproduksi sebesar 200.000 ton, tahun kedua 300.000 ton, tahun ketiga 300.000 ton dan tahun keempat sebanyak 400.000 ton.
Slamet Mudjiono, Manager Produksi Perusahaan itu mengatakan, pelaksanaan kegiatan penambangan dilakukan dengan sistem tambang terbuka, yakni dengan mengupas tanah bagian atas (topsoil), cara ini lebih dikenal dengan landclering. Factor utama yang secara tekhnis maupun ekonomi dapat berpengaruh terhadap striping ratio. Lokasi ini pada umunya ditutupi oleh pepohonan yang cukup lebat dengan diameternya sekitar 30 sentimeter.
Sahrul, Koordinator LSM Sagori, mengatakan hutan yang dimanfaatkan untuk lokasi pertambangan PT. Billy ini termasuk dalam kawasan hutan produksi dan beberapa bagian lainya masuk wilayah lindung. Pembebasan lahan dan perijinan ini berimplikasi terhadap berkurangnya luas hutan di Indonesia yang selama ini berfungsi sebagai tata hidrologi dan sember kehidupan masyarakat di sekitar hutan itu.
Atas dasar beragam kegiatan yang dilakukan selama landclearing dan striping, teridentifikasi dampak langsung yang ditimbulkannya, yaitu perubahan ikilim mikro, kerusakan habitat kehidupan liar, menurutnya keragaman hayati, terganggunya tata hidrologi, erosi dan sedimnetasi yang berimplikasi terhadap menurunya kualitas air sungai sampai ke muara serta perairan teluk dan tanjung di wilayah kelurahan Dongkala, kecamatan Kabaena Timur.
Penurunan kualitas air ini selanjutnya berdampak pada komponen kesehatan, biota perairan, sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat. Karena, sedimen yang masuk ke perairan pesisir akan menurunkan kualitas air pesisir yang selanjutnya berdampak pada biota perairan itu. Dampak selanjutnya adalah nelayan dan kesempatan usaha mereka dari budidaya rumput laut dan perikanan lainnya akan hilang.
Sayharul menambahkan, dari peta tata guna lahan kesepakatan dan peta penunjukan kawasan dan perairan Sultra dalam skala 1 : 720.000, No. SK 454/Kpts-II/1999, tertanggal 17 Juni 1999, menunjukan adanya tumpang tindih lokasi eksplorasi PT. Billy dengan penunjukan kawanan perairan serta penggunaan lahan untuk masyarakat, yakni kegiatan hutan produksi terbatas dan hutan lindung. Sedangkan yang lainnya adalah perkebunan kelapa rakyat, jambu mete, pertanian palawija, usaha budidaya serta pemukiman penduduk.
Syarif, warga di Kelurahan Tapuhaka mengatakan, pemberian izin kelola tambang dari Pemerintah Kabupaten Bombana merupakan kecelakaan bagi warga Kabaena. Sejak awal tak ada sosialisasi jelas dari Pemerintah maupun perusahaan terhadap warga. Padahal, berdasarkan peraturan pemerintah no 75 tahun 2001 pasal 26, perusahaan yang telah mengantongi izin Kuasa pertambangan wajib membayar iuran tetap dan iuran eksplorasi dan mensosialisasikan hal itu pada warga setempat.
“Warga harus tahu hak mereka, termasuk agar mereka bisa bersikap kritis bila pengelolaan tambang dilakukan dengan cara merusak,” katanya.
Ia menilai pemberian dana community development pada warga samasekali tak akan pernah bisa memperbaiki kerusakan yang telah ada. Dia mendesak PT. Billy untuk memberikan komitmen pertanggungjawaban secara transparan pada warga bila pada akhirnya perusahaan tambang itu telah mengakhiri kontrak tambangnya. “Perlu bagi kami sebagai warga mengetahui, seperti apa rupa Kabaena kelak dan siapa yang akan merawat pulau ini pasca tambang?”
PT. Bily adalah perusahaan yang beroperasi sejak tahun 2007 di Kabaena. Mengelola wilayah seluas 194 hektar dan memberikan dana Rp 1000 per ton hasil keuntungannya pada warga sebagai bukti penyelesaikan community development. Pada bulan Mei total dana community development yang telah diberikan sebesar Rp 540.471.000,- pada warga. Sosialisasi dana itu dilakukan lewat secarik kertas yang ditempel di dinding toko, bangunan pemerintah dan tempat lain yang mudah diakses warga.
”Kami sangat terbuka membahas hal ini,” kata Distomi Lasimon, Direktur PT Billy Indonesia. Community development adalah satu kewajiban yang dilakukan PT Bily selain upaya reklamasi. Tapi tetap saja upaya mereka tak pernah bisa menjawab ; siapa yang kelak akan memperbaiki kerusakan lingkungan pasca tambang di Kabaena.
Mahendro, S.Hut, Kepala Seksi Program Balai Pemeliharaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Sultra, mengatakan tambang akan menyebabkan wilayah tangkapan air hilang bersamaan dengan gundulnya hutan. Lubang-lubang besar yang tercipta selama proses eksplorasi maupun eksploitasi akan potensial menjadi penyebab terjadinya longsor dan erosi.
Tak kalah serius adalah hilangnya kemampuan kawasan hutan untuk mendukung kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sekitar hutan. Selama ini, hutan terbukti mendukung perekonomian masyarakat sekitar melalui pengambilan hasil hutan seperti buah-buahan, madu, rotan, dan bahan bangunan.
Padahal sejak awal warga sekitar telah hidup bersama dengan hutan. Artinya, bila kawasan hutan tersebut hilang, maka hilang pula pendukung dan fungsi hutan bagi masyarakat sekitar.
Dampak lain adalah, pengelolaan tambang di wilayah kecil akan memberi pengaruh kerusakan yang sulit ditunda. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Indonesia, mencatat sampai tahun 2001 lalu sekitar 70 buah pulau kecil telah tenggelam. Penyebab utamanya adalah ulah manusia ketimbang pengaruh iklim global yang ditandai dengan naiknya suhu permukaan laut. Umunya, tenggelamnya pulau kecil itu disebabkan oleh pengerukan bukitnya.
Kritikan terhadap kabupaten Bombana adalah keluarnya izin-izin kelola tambang tanpa diiringi dengan konsep tata ruang dan wilayah yang detail. “Kami akui, wilayah ini belum memiliki konsep tata ruang,” kata Ahmad Yani,wakil ketua DPRD Kabupaten Bombana. Menurutnya, pemerintah Bombana telah mencanangkan Kabaena sebagai daerah pertambangan dan DPRD tak memiliki kekuatan untuk mengkritik kebijakan ini.
Pulau-pulau kecil cenderung mengalami persoalan besar karena ukuran luasnya tak lebih dari 10 ribu km persegi. Secara ekologi terpisah dari pulau induknya, memiliki batas yang pasti, dan terisolasi dari habitat lainnya atau penduduknya kurang dari 500 ribu jiwa.
Kabaena juga riskan menjadi wilayah tambang karena memiliki proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Mempunyai tangkapan air yang relatif kecil, sehingga kebanyakan air dan sedimen hilang dalam air dan dari segi budaya, masyarakat yang mendiami pulau ini mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan. Adanya masukan sosial, ekonomi dan teknologi ke pulau ini akan menganggu kelestarian budaya mereka.
Apa yang akan terjadi bila tambang Kabaena di teruskan? Sementara daya dukung sumber daya alam tak terbarukan itu akan menipis, tak bakalan bertambah lagi di lain sisi jumlah penduduk serta pendapatan masyarakat dari hari kehari semakin meningkat. (Abdul Saban)


No comments:

PT.Pertamina (Persero) , Indonesia - Corporate Website - Warta Pertamina